Sebagian orang tidak sabar agar
segera sampai ke tempat tujuan. Namun sebagian orang lagi lebih senang untuk
melakukannya dengan santai dan menikmati perjalanan mereka.
Mungkin saya adalah orang yang
termasuk tipe kedua.
Jarak rumah saya ke sekolah
tidaklah dekat, sekitar 20 km. Perjalanan ke sekolah itu adalah rangkain dari
jalan kaki, naik angkot, naik bis, dicopet sama tukang copet, jalan kaki dan
kadang digoda sama mas-mas.
Di
perjalanan ini saya bertemu dengan banyak orang. Sifat orang-orang yang saya
temui di jalan pun berbeda-beda. Sebagai contoh saja adalah sopir angkot dan
bis. Ada sopir yang baik, yang membantu menaik turunkan barang bawaan. Ada
sopir yang suka berbohong, katanya tujuan ke tempat A, tapi penumpang hanya
diturunkan di tengah jalan.
Ada
sopir yang pelit, yang suka membawa kabur uang kembalian. Ada sopir yang ramah,
suka senyum dan suka melucu. Ada sopir yang judes. Serta ada juga sopir yang
suka marah-marah dan tidak sabar. Selalu mengebut dan tidak punya aturan kalau
menyetir, menyalip sana-sini tanpa peduli dengan kendaraan lain dan selalu saja
menekan klakson panjang.
Selain sopir, para penumpang
juga memiliki berbagai macam sifat. Pada suatu hari, saat berada di dalam
angkot, ada seorang ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik bertanya pada saya,
“Kok jam segini baru pulang,
Mbak?”
“Iya, Bu. Tadi ada kerja
kelompok di sekolah.”
“Lha emang sekolahe mana to?”
“Di SMA 4 Semarang.”
“Walah lha kok adoh banget.
Omahe ning kene kok sekolae ning Semarang to. Kok nggak milih sekolah yang
deket sini aja?”
Sebelum saya menjawab pertanyaan
sang ibu, teman-teman ibu tersebut malah menimpali dengan berbagai macam tanggapan.
Mungkin mereka tidak menyangka kenapa siswa yang rumahnya pelosok malah lebih
memilih sekolah yang berada sangat jauh dari rumahnya.
“Paling
yo sesuk anakku meh langsung tak kon kerjo ning pabrik wae. Saiki angel nek
kudu ngragati tekan kuliah. Biayane saiki soyo larang. Kabeh-kabeh mundhak.
Bojoku mung dadi sopir angkot. Nggo mangan wae wes angel opo meneh nggo
nyekolahke tekan kuliah.”
“He
e. Anakku malah pengen metu seko sekolahe. Jarene mumet mikirke pelajaran.
Terus yo rak pengen ngrepoti wong tuane. Tapi rak tak entukke. Ben tekan lulus
SMA sek. Kan nek wes lulus luwih gampang golek kerjane.”
Saya sangat
kaget mendengar pernyataan dari ibu-ibu itu. Ternyata di zaman secanggih dan
semodern ini banyak orang tua yang pikirannya masih tradisional. Rasanya saya
ingin sekali menanggapi percakapan ibu-ibu tadi. Tapi kemudian saya mengurungkan
niat. Bukan karena takut atau bagaimana. Tapi hanya sedang tidak ingin. Lagipula
sangatlah tidak sopan jika saya tiba-tiba masuk ke inti percakapan mereka.
Di
dekat rumah saya memang banyak sekali industri pabrik. Sekarang sawah-sawah
yang menuju ke rumah sudah banyak yang diratakan untuk dibuat pabrik,
kost-kostan, maupun toko. Orientasi masa depan orang-orang di lingkungan rumah
saya masih sangat rendah. Saya sangat prihatin mengetahui hal tersebut.
Bagaimana Indonesia bisa maju kalau masyarakatnya saja berpikirnya hanya
sebatas begini saja?
Namun
Alhamdulillah, saya beruntung memiliki orang tua yang baik dan peduli. Yang
berintelektual dan berpikiran maju. Dari dulu orang tua saya selalu mengajarkan
yang terbaik untuk anaknya. Memilih sekolah juga tidak asal-asalan. Harus
sekolah yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Sekolah yang mengajarkan
tidak hanya sekadar ilmu pengetahuan, tetapi juga mengajarkan tentang akhlak
yang baik.
Walaupun
sebenarnya saya juga tahu bahwa suatu sekolah favorit belum tentu membawa anak
didiknya kepada kesuksesan. Tapi setidaknya ada salah satu media yang akan
membawa mereka ke sana.
Ya,
begitulah perjalanan. Walaupun menurut orang-orang jarak perjalanan saya ke
sekolah sejak SD sampai SMA ini sangat panjang dan jauh, menghabiskan banyak waktu serta
tenaga. Tapi saya lebih senang menikmatinya dengan berbagai perjuangan daripada
para pejabat yang senang instan saja, langsung mengambil uang rakyat.
Waktu sekolah dulu, orang tua saya mempercayakan saya sekolah dimanapun, asal negeri, dan saya begitu antusias dengan sekolah favorit, meskipun pada akhirnya diterima di pilihan kedua. Ayah saya berkata, "Sekolah tuh nggak harus favorit, yang penting di sekolah kita bisa berprestasi, dan kita pun sama dengan mereka." dan itu yang saya pegang teguh sampai sekarang, kuliah yang tempatnya sangat jauh, bahkan bukan kota besar, tapi seberapa jauh pun tempat saya kuliah sekarang, saya begitu menikmatinya hingga 4 tahun ini :)
ReplyDeleteorang tua saya juga menasehatinya seperti itu.
Deleteyang penting saya bisa bertanggung jawab dengan sekolah pilihan saya.
buat saya, jauh nggak masalah.
kan ada pepatah yang berkata, "Tuntulah ilmu walau sampai ke negeri Cina" :D
Waktu sekolah dulu saya jalan kaki :v
ReplyDeletedulu kan jarak rumahmu sama sekolah deket, itung-itung olahraga dong :p
Deletekeep fighting ^^
ReplyDeletesiap! :D
DeleteJauh juga ya jarak kes sekolahnya sampai 20 km begitu...
ReplyDeleteRupanya sudah banyak pebrik berdiri disana ya?
Polusi dan efek samping industrialisasi mulai melanda ya?
Oke, tetap semangat berjuang...
iyaa, jauh banget. belum lagi kalau macet.
Deleteoke! selalu semangat!
Wah... semangat ya Farida. Kamu keren!
ReplyDeleteNaik angkutan umum itu emang seru, menghemat penggunaan bahan bakar dan juga bikin kita makin banyak tau. Meskipun yah... jauh lebih makan waktu dibanding naik kendaraan pribadi.
Hehe belum keren kok. Masih banyak yang perlu dipelajari.
DeleteSiaap, Prita. Selalu semangat kok ini :D