"Wah, kelas IPA banyak saingannya. Apa aku
pindah IPS aja ya? Kan bisa jadi di sana nilaiku tinggi, dapet 3 besar, terus
masuk jalur undangan."
"Pengin pindah IPS, tapi aku takut nilaiku
jelek soalnya aku nggak bisa hafalan."
"Guru di jurusan IPS kan baik kalau ngasih
nilai. Pas tes nilainya dapet jelek tapi di rapor hasilnya bisa bagus."
Itu adalah beberapa keluhan teman-temanku yang baru saja memasuki kelas
XI IPA. Sebenarnya aku juga berpikir seperti itu. Memang, IPA adalah pilihanku
dari awal. Sudah aku putuskan untuk memasuki jurusan ini. Walaupun bertemu
dengan pelajaran fisika, kimia dan biologi adalah suatu hal yang sangat
menakutkan bagiku, namun aku akan berusaha menghilangkan rasa takut itu. Siap
tidak siap aku harus siap untuk mendapatkan risiko dari keputusanku ini.
Di sini, mulai semester
3 ini, aku harus mulai fokus dan serius. Apalagi semester kemarin aku sudah
mendapat peringkat atas. Menyenangkan memang, tetapi juga sangat menyedihkan.
Hasil seperti ini benar-benar menjadi beban berat bagiku. Untuk mempertahankan
saja tidak mudah, apalagi meningkatkan nilai. Memang, aku mengetahui bahwa
nilai bukanlah segalanya. Nilai juga bukan penentu hidup atau matinya seseorang.
Namun, begitulah sistem pendidikan di Indonesia dan hampir di seluruh negara
saat ini.
Nilai dijadikan sebagai
tolak ukur untuk keberhasilan seseorang dalam kegiatan belajar mengajar. Nilai
hanyalah sebuah kata. Namun ada paradigma yang sudah terbentuk dari dulu yang
menyatakan bahwa orang yang bernilai tinggi dianggap cerdas dan memiliki banyak
ilmu. Sekarang saja untuk dapat melanjutkan sekolah favorit kita membutuhkan
nilai tinggi. Untuk mendapatkan beasiswa kita juga membutuhkan nilai tinggi.
Untuk dapat diterima bekerja dengan gaji besar kita juga membutuhkan nilai
tinggi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa hanya berorientasi untuk
mendapat nilai tinggi tanpa memikirkan pemahaman dan tujuan utama mereka
sekolah.
Kebanyakan dari para
siswa kurang peduli dengan ilmu yang didapat. Mereka hanya mengkhawatirkan
nilai. Para siswa hanya belajar saat esoknya akan ada UH, UTS, UAS dan Ujian
saja. Cara seperti ini sering disebut Sistem Kebut Semalam (SKS). Pada hari itu
penjualan kopi pun meningkat tajam. Penjual pun merasa senang dan berharap
selalu ada ujian bagi siswa. SKS seperti ini menyebabkan ilmu tidak terserap
bersih di dalam otak. Ilmu yang dipelajari hanya bertahan beberapa hari saja.
Setelah itu bagaimana? Lupa.
Selain itu, cara
menghadapi UH, UTS, UAS dan Ujian yang paling parah adalah tidak belajar.
Mereka hanya menulis 'kepekan' di atas sesobek kertas yang kecil. Tulisannya
pun juga dibuat dengan sangat kecil. Ada juga yang bertanya dan tengok kanan
kiri depan belakang untuk menyontek temannya. Saat Ujian Nasional berlangsung,
tidak sedikit siswa yang mencari bocoran dan kunci jawaban. Tujuannya untuk
apa? Alasannya ya karena mereka takut nilainya rendah. Mereka tidak ingin dicap
bodoh oleh lingkungannya. Mereka takut nilai rapor tidak tuntas dan bahkan
tidak lulus ujian. Dan masih banyak alasan lain mengapa mereka memilih jalur
pintas tersebut.
Iya, nilai memang
penting dalam pendidikan saat ini. Tetapi ilmu jauh lebih penting, seperti
sabda Rasulullah SAW di bawah ini,
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”
{H.R. Ahmad (V/ 196 ), Abu Dawud (no. 3641 ), At-Tirmidzi (no. 2682 ), Ibnu Majah (no. 223 ), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-mawaarid). Lafaz ini milik Ahmad dari sahabat Abu Darda'.}
Nah, begitulah janji
Allah SWT. Ia akan memudahkan kita untuk masuk surga jika kita menuntut ilmu
dengan sungguh-sungguh dan ikhlas karenyaNya.
Perlu kalian ketahui
bahwa aku menulis seperti ini bukan berarti aku merasa sudah benar dalam
sekolah. Aku hanya ingin membagikan pengalamanku dan pengalaman teman-temanku.
Dari SD sampai sekarang, aku juga merupakan salah satu siswa yang bekerja
sebagai pengejar nilai. Dari dulu nilai adalah prioritas utamaku saat sekolah.
Aku merasa sangat bangga jika aku mendapat nilai tinggi dan peringkat atas
walaupun semua itu aku lakukan dengan SKS. Saat kemarin kelas X, aku juga
pernah satu dua kali mengalami fase ‘nyontek’ demi memperoleh nilai tinggi. Tetapi,
aku sadar ternyata cara seperti itu merupakan kesalahan besar.
“Sesungguhnya kejujuran adalah sebuah kebajikan, sedangkan kebajikan akan menuntun seseorang menuju surga. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk jujur sampai ia tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Adapun sesungguhnya kedustaan adalah sebuah kekejian, sedangkan kekejian akan menuntun seseorang menuju neraka. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk dusta sampai ia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim, no 4720 ).
Orang tuaku pernah berpesan, "Sebenarnya kalau kamu selalu belajar untuk mencari ilmu, Insya Allah nilaimu juga akan baik. Tetapi sebaliknya, percuma saja nilaimu tinggi kalau kamu tidak memiliki ilmu yang tinggi pula. Orang berilmu tidak akan takut mendapat nilai jelek. Dia tidak peduli terhadap nilai, yang terpenting adalah dia memiliki banyak ilmu."
Ranchhoddas "Rancho" Shamaldas Chhanchad dalam film 3 Idiots juga berkata, "Jangan mengejar sukses, tapi kejarlah kesempurnaan dan jadilan orang besar. Maka kesuksesan akan mendatangimu." Dan untuk masalah nilai, aku ubah menjadi, "Jangan mengejar nilai, tapi kejarlah ilmu dan jadilah orang besar. Maka nilai tinggi akan mendatangimu." Hehehe :p
Oke, mulai saat ini, aku
tidak hanya mengejar nilai, tetapi juga mengejar ilmu. Aku akan belajar,
belajar dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sekarang terserah
bagaimana kitanya. Kalau aku lebih memilih ilmu karena otomatis jika orang yang
berilmu, nilai juga akan baik. Nah, bagaimana dengan kalian, ilmu atau nilai
yang lebih penting?
Bener banget, kebanyakan yang gitu sekarang. Nilai bagus juga gak jamin dia sukses :D
ReplyDeletehehe iyaa:)
DeleteNice post anyway :D
DeleteMampir balik yuk ke blog saya: http://sophiamega.blogspot.com
maiandra!
ReplyDeletehuruf kegemaranku untuk nulis di blog. haha..
*fokus melenceng*
bener nih. sakin pedulinya dengan nilai sampai menghalalkan segala cara
ReplyDeletewah kakak postingnya keren deh:))
ReplyDeletetapi kurikulum 2013 berbeda kaa, kls X langsung psikotes trs lgsg ketauan deh dapat jurusan apa seperti sayaa :D
wah makasih :)
Deleteoh iya, sekarang langsung penjurusan ya. kemarin sebelum kenaikan kelas XI aku juga dites psikotes dulu kok. terus diliat nilai rapornya. dan ujung-ujungnya nilai masih sebagai patokan kan. hehe.
ditunggu tulisan berikutnya...
ReplyDeletesesungguhnya nilai itu berasal dari prosesnya dan proses lah yang lebih berarti dari pada sebuah nilai. karena nilai slalu mengikuti usaha dan proses untuk mendapatkan nilai yang bagus :D
ReplyDeletehaha kata-katanya luar biasa. bener itu. aku setuju! :D
DeleteWaah dapat ranking ya, selamat ya!! :D
ReplyDeletepertahankan, nak!! Hehe
hihihii terima kasih kak. aamiin, semoga bisa bertahan :D
Deleteseperti kata pepatah ya. "Karena Nilai Setitik, Rusak Susu Sebelenggu"
ReplyDeleteiya gitu aja sih. hahaha. *lupakan*
Salam Abon (blogger yang baik selalu meninggalkan jejak :D)
jiahaha yg bener itu "karena nilai setitik, rusaklah liburan saya" #abaikan :p
Deletenice infooooo! :D
ReplyDelete