“Kamu suka bunga apa?”, tanyamu tiba-tiba.
“Lihatlah itu,” kataku sambil menunjuk ke arah matahari.
“Matahari? Kamu suka bunga matahari?”
“Iya. Aku sangat suka bunga matahari. Dalam bahasa Jepang
bunga matahari disebut dengan Himawari. Terdengar sama seperti nama adiknya Sinchan
kan?,” jawabku sambil tersenyum.
“Kenapa kamu bisa menyukainya?”
“Himawari itu menakjubkan. Dia dapat mengajarkanku belajar
bertahan dengan makna kesetiaan pada sebuah pengharapan cinta.
“Setia pada seseorang maksudmu?”
“Iya. Himawari sangat setia dengan matahari. Dia merupakan
bunga yang selalu menghadap ke arah datangnya sinar matahari. Saat matahari
pagi terbit di ufuk timur, bunga matahari akan menghadap ke timur. Dan saat matahari
terbenam di ufuk barat, bunga matahari pun akan menghadap ke barat. Aku ingin
seperti itu. Dengan begitu aku akan setia pada seseorang yang aku cintai.
Himawari juga akan selalu mencari cahaya matahari agar terlepas dari kegelapan.
Selalu mencari ilmu di manapun aku berada agar aku terhindar dari kebodohan.”
“Lalu apa lagi yang kamu sukai dari Himawari?”
“Himawari memiliki kelopak yang berwarna kuning. Warna kuning
melambangkan keceriaan. Aku ingin menjadi wanita yang selalu ceria bagaimanapun
keadaanku. Memang, dia tidak seharum dan seanggun seperti bunga mawar, tetapi
Himawari juga mengajarkanku makna ketegaran hidup. Aku tidak akan mudah rapuh
begitu saja. Jika kegagalan menimpaku, aku akan tetap berusaha dan merajut asa.
Selain itu, aku ingin menjadi wanita yang selalu rendah hati seperti Himawari
yang sedang menunduk jika matahari sudah tenggelam. Dan yang terakhir biji Himawari
juga dapat dijadikan kuaci untuk dimakan. Aku ingin agar hidupku ini dapat
bermanfaat bagi siapa pun.”
“Ooh begitu. Semoga
kesukaanmu dengan bunga matahari dapat selalu memotivasi dirimu yang sering
panik dan suka marah ini ya. Haha,” komentarmu sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku terdiam. Pura-pura kesal denganmu.
“Maaf aku kan hanya bercanda. Jangan marah ya? Aku doakan
semoga kamu selalu menjadi bunga matahari yang berguna bagi sekitarnya,” katamu
dengan penuh rasa penyesalan.
Aku tersenyum dan mengamini kalimatmu dalam hati.
Aku dan kamu kembali mendayung perahu. Menikmati suasana yang
sangat sejuk dan nyaman. Jarang-jarang dapat menemukan pemandangan indah
seperti ini. Maklumlah, kita lahir dan dibesarkan di kota metropolitan. Yang
ada hanya hiruk pikuk suara kendaraan yang melintas.
“Pernah mendengar kisah kehidupan Dandelion?”
“Belum. Dandelion itu siapa?”
“Dandelion bukan orang. Ia adalah sebuah bunga. Kamu pasti
sering melihatnya. Tapi mungkin kamu tidak tahu saja namanya.”
“Memang bentuknya seperti apa?” tanyaku dengan penuh
penasaran.
“Lihatlah. Di ujung sana ada banyak bunga
Dandelion. Ayo kita dayung perahunya sampai ke tepi sana,” katanya.
Aku memang sudah pernah melihat bunga ini.
Namun aku sering bertanya-tanya, apakah ada keistimewaan Dandelion yang hanya
sebatas bunga rumput. Kemudian dia pun menjelaskan padaku bahwa Dandelion itu
seperti impian seseorang. Ia akan terbang dan tertawa riang dengan segala
kebebasannya. Melawan angin yang membawanya pergi pada tempat baru untuk
disinggahi. Bersiap untuk menjelajahi dunia dan samudera. Tidak peduli hujan
badai yang mungkin dapat membuat tangkainya patah. Ia tidak pernah menyerah
walaupun serabut-serabut putihnya akan hilang dan terpisah. Saat Dandelion
mendarat pada suatu tempat, ia akan tumbuh bersama sinar matahari. Menyundulkan
dirinya di antara bunga-bunga lain yang sedang bermekaran indah. Memberikan
kehidupan baru kepada yang lain dengan segala kesederhanaannya. Ia akan tumbuh
menjadi individu baru dan berdiri kembali, sehingga akan membentuk sebuah
koloni. Dandelion mampu beradaptasi di manapun berada. Bisa di padang rumput,
di tempat lembab dan bahkan di pinggir danau ini. Ia tetap kuat dan tegar walau
dalam kondisi ekstrem sekalipun.
“Ooh hebat sekali si Dandelion. Apakah kamu menyukainya?”
tanyaku.
“Iya. Aku sangat menyukainya. Sepertinya filosofi bunga kita
hampir memiliki kesamaan,” jawabmu.
“Benar juga. Semoga kita dapat menjadi pribadi yang seperti
bunga-bunga itu ya.”
“Aamiin. Gunakan batu ini,” dia memberiku sebuah batu, “Genggam
dan mohon kepada Tuhan agar harapan kita tercapai.”
“Tidak. Itu kan syirik namanya,” sanggahku.
“Bukan bermaksud untuk syirik atau apa. Hanya sebuah simbol saja
agar danau ini menjadi saksi bahwa kita pernah di sini.”
“Tapi...”
Ayolah. Berdo’anya kepada Tuhan. Bukan pada batu ini. Sekarang
lempar batu ini secara bersamaan ke dalam danau itu.”
Akhirnya aku menyanggupinya. Kami pun sama-sama berharap. Kemuadian
melemparkan batu ke dalam danau dengan senyum kebahagiaan.
“Semoga Tuhan mengabulkan doa kita,” katamu sambil mengajakku
pulang karena hari sudah hampir petang.
***
Itu adalah percakapan kami sepuluh tahun yang lalu. Kini,
Dandelion itu mengingatkanku kepada dirinya. Tepat di atas perahu ini kami
bersama. Menghabiskan waktu akhir pekan berdua. Kala itu benar-benar indah.
Terasa nyaman. Kami saling bertukar cerita. Menceritakan tentang impian. Sebuah
keinginan yang mungkin hanya sebuah fragmen semata. Namun harus diperjuangkan jika
kita ingin mendapatkannya.
Dia mengatakan bahwa dirinya adalah Dandelion. Namun menurutku
dia bukan hanya sekadar Dandelion. Dia adalah salah satu inspirator dan
motivatorku. Aku merindukan dirinya yang selalu menyemangati hidupku untuk
menapaki kehidupan ini. Tidak mudah memang bertahan di saat kita ditikam pisau
bertubi-tubi. Tetapi aku yakin, aku pasti bisa keluar dari semua ini. Aku tidak
akan berhenti sebelum Sang Pemilik Kehidupan memanggilku.
Aku ingin bertemu dengannya, berharap kita dapat disatukan
lagi di sana. Di surga yang membawanya pulang kepada Tuhan.